In his message for the 58th World Day of Social…
Homili Paus pada Urbi et Orbi
Peristiwa bersejarah telah terjadi dalam Gereja Katolik Roma: Paus Fransiskus, pada Jumaat 27 Mac 2020, pukul 6:oopetang waktu Roma (atau Sabtu 28 Mac, pukul 1:00pagi waktu Malaysia), berdoa dan memberikan berkat khusus Urbi et Orbi . (Biasanya pemberkatan Urbi et Orbi ini di berikan waktu Paus baru terpilih, Natal dan Paskah). Berikut adalah terjemahan Homili Paus berdasarkan teks Injil Markus 4: 35-41. Terjemahan ini berdasarkan bahasa Italia yang dimuat dalam laman rasmi Vatikan www.vaticannews.va
Telah berminggu-minggu rasanya malam telah tiba. Kegelapan pekat telah menebal di alun-alun, jalan-jalan dan kota-kota kita, mengambil alih hidup kita, mengisi segala sesuatu dengan keheningan yang memekakkan telinga dan kekosongan yang menyengsarakan, yang melumpuhkan langkah-langkah segala sesuatu: Hal ini terasa dalam hembusan angin, tampak dari bahasa tubuh, terpancar dari semua tatapan. Kita merasa takut dan tersesat. Seperti para murid dalam Injil, kita terkejut kerana badai yang tak terduga dan geram. Kita menyadari bahwa kita berada di perahu yang sama, kita semua rapuh dan bingung, tetapi pada saat yang sama penting dan perlu bahwa kita semua dipanggil untuk bersatu, semua membutuhkan untuk saling mendukung. Dalam perahu ini … kita semua ada di sini.
Badai menyingkap kerentanan kita dan membongkar kepastian yang palsu dan dangkal yang dengannya kita membangun agenda, projek, kebiasaan, dan prioritas kita. Ini menunjukkan kepada kita bagaimana kita sudah membiarkan tertidur dan meninggalkan hal yang memberi kita nutrisi, yang mendukung dan memperkuat hidup kita dan komunitas kita. Badai ini membongkar semua rancangan untuk ‘membungkus’ dan melupakan hal yang telah memelihara jiwa masyarakat kita; (membongkar) semua upaya untuk membius dengan pola kebiasaan yang terkesan ‘menyelamatkan’, ketidakmampuan untuk kembali ke akar kita dan memohon para pendahulu kita, dengan demikian merampas kita dari kekebalan yang dapat diandalkan tatkala menghadapi kesulitan. Badai telah meniup trik prasangka-prasangka yang menjadi topeng ‘ego’ kita, yang selalu sibuk dengan pencitraan diri; dan masih tergeletak saja warisan (mulia) kita bersama, yang tidak dapat kita biarkan terbongkar, yaitu warisan sebagai saudara.
Bersikap serakah demi keuntungan, kami membiarkan diri kami terserap oleh banyak urusan dan dibingungkan oleh ketergesa-gesaan. Kami tidak berhenti untuk mendengar panggilan-Mu (Tuhan), kami belum menghentikan perang planet dan ketidakadilan, kami belum mendengarkan seruan orang miskin, dan planet kami yang sakit parah. Kami terus tanpa gentar, berpikir untuk selalu sehat di dunia yang sakit. Sekarang, sementara kami berada di laut bergelombang, kami mohon kepada-Mu: “Bangun Tuhan!”. “Kenapa kamu takut? Kamu masih belum juga beriman?” Tuhan, Engkau berseru kepada kami, seruan untuk beriman. Kami orang yang tidak terlalu percaya bahwa Engkau ada, namun datang berserah pada-Mu. Dalam masa Prapaskah ini, perdengarkanlah seruan-Mu yang mendesak: “Bertobatlah”, “kembalilah kepada-Ku dengan sepenuh hati” (Yoel 2: 12). Tuntun kami untuk memaknai masa pencobaan ini sebagai pilihan. Ini bukan waktu penghakiman-Mu, tetapi penghakiman kami: waktu untuk memilih apa yang penting dan apa yang berlalu, untuk memisahkan apa yang perlu dari apa yang tidak. Inilah saatnya untuk menata kembali cara hidup di hadapan-Mu, Tuhan, dan di hadapan sesama. Hendaknya kami dapat melihat banyak teman, teladan seperjalanan, yang, dalam ketakutan, bersaksi mengurbankan hidup mereka. Itu adalah kekuatan Roh yang tercurah dan terwujud dalam dedikasi yang berani dan murah hati.
Para dokter, perawat, pekerja di supermarket, petugas kebersihan, penjaga, pengangkut, penegak hukum, sukarelawan, pastor, religius, dan banyak lainnya, serta lebih banyak lagi yang memahami bahwa tidak ada orang yang selamat hanya dari dirinya. Di hadapan penderitaan, yang dengannya perkembangan sesungguhnya dari masyarakat kita diukur, kami menyimak dan memaknai doa imamat Yesus: “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21). Begitu banyak orang yang setiap hari bersabar dan mengalirkan harapan, bersikap hati-hati agar tidak menyebar kepanikan, melainkan ikut bertanggung jawab. Begitu banyak ayah, ibu, kakek dan nenek, serta para guru yang setiap hari mengajarkan hal-hal kecil kepada anak-anak kita, bagaimana membangun kebiasaan dalam menghadapi dan melalui krisis, mengangkat mata mereka dan menyerukan doa. Banyak orang yang berdoa, mempersembahkan dan memohonkan kebaikan bagi semua. Doa dan ibadah dalam keheningan: itulah senjata kemenangan kita.
Kami tidak cukup diri, tenggelam dalam kesendirian. Kami membutuhkan Tuhan seperti para pelaut kuno yang diarahkan oleh bintang-bintang. Mari kita mengundang Yesus ke dalam perahu-perahu kehidupan kita. Mari kita pasrahkan ketakutan kita kepada-Nya, agar Dia mengatasinya. Seperti para murid, kita juga akan mengalami bahwa bersama Dia di atas perahu, perahu tak akan karam. Sebab, inilah kekuatan Tuhan: mengubah segala sesuatu yang menimpah kita, bahkan yang buruk, menjadi baik. Dia membawa ketenangan dalam badai kita, kerana dengan Tuhan hidup tidak pernah mati. Tuhan menantang kita dan, di tengah-tengah badai, mengundang kita untuk membangkitkan dan menggerakkan solidaritas dan harapan yang mampu memberikan keteguhan, dukungan, dan makna di saat-saat ini, ketika segala sesuatu tampak seperti karam. Tuhan bangun untuk membangkitkan dan menghidupkan kembali iman Paskah kita. Kita memiliki jangkar: di kayu salib-Nya kita diselamatkan. Kita memiliki kemudi: di kayu salib-Nya kita telah diselamatkan. Kita memiliki harapan: di kayu salib-Nya kita telah disembuhkan dan dipeluk sehingga tidak ada sesuatu pun dan seorang pun yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya yang menebus. Di tengah keterasingan di mana kita merasakan kurangnya kasih sayang dan perjumpaan, mengalami banyak kekurangan, kita mendengarkan sekali lagi warta keselamatan kita: Dia bangkit dan hidup di hadapan kita.
Merangkul salibnya bererti menemukan keberanian untuk merangkul semua kontradiksi pada saat ini, meninggalkan sejenak kecemasan kita tentang kekuasaan dan kepemilikan untuk memberi ruang pada daya cipta yang hanya dapat terwujud oleh daya Roh Kudus. Itu bererti menemukan keberanian untuk membuka ruang di mana setiap orang dapat merasa terpanggil dan mengupayakan cara-cara baru keramahan, persaudaraan, dan solidaritas. Dalam salib-Nya kita diselamatkan untuk menyambut harapan dan membiarkan Dia menguatkan dan mendukung semua langkah dan cara yang memungkin, yang dapat untuk menjaga dan menjamin kita. Rangkullah Tuhan untuk merangkul harapan: inilah kekuatan iman yang membebaskan kita dari rasa takut serta memberi harapan.
Saudara dan saudari yang terkasih, dari tempat ini, yang mengisahkan wadas iman Petrus, malam ini saya ingin mempercayakan Anda semua kepada Tuhan, mempercayakan kesehatan umat-Nya dengan perantaraan Bunda Maria, bintang di tengah laut bergelombang. Dari barisan tiang (Lapangan Santo Petrus) ini, yang merangkul kota Roma dan dunia, berkat Tuhan turun bagimu seperti pelukan penghiburan. Tuhan, berkatilah dunia, anugerahi kesehatan badani dan penghiburan batin. Engkau meminta kami agar tidak takut. Tetapi iman kami lemah dan kami merasa takut. Tetapi Engkau, Tuhan, jangan tinggalkan kami di bawah angin badai. Sekali lagi: “Janganlah kamu takut”(Mat 28: 5). Dan bersama dengan Rasul Petrus, kami “membentangkan di hadapan-Mu semua ketakutan, kerana kami tahu bahwa Engkau merawat kami”. (cf. 1 Pet 5:7). – andreatawolo.id/catholicadkk.org
This Post Has 0 Comments